Selasa, 26 Juni 2012

Entahlah....Ini sinerton banget. Haha


Aku sadar bahwa aku mencintainya, Tuhan. Jangan rebut ia dariku. Aku menyayanginya. Angkatlah rasa sakitnya, Tuhan. Biarkan rasa sakitnya berpindah kepadaku. Aku rela, Tuhan…”
Aku terus menatap kearah mata pria itu. Pria itu terbaring dihadapanku. Tetes demi tetes airmata membasahi pipiku. Dalam hati, aku terus berdoa agar mata indah itu terbuka dan dapat menatap indahnya dunia.
“Cepet bangun ya, Vin. Gue bakalan nungguin lo kok. Gue bakal jadi orang pertama yang lo liat waktu lo buka mata indah lo itu. Gue sayang, Vin sama lo. Jangan tinggalin gue ya!”, batinku berbisik penuh harap.
                Tangan berinfus itu tetap diam. Harapku belum tercapai. Tangan itu tetap diam. Mata itu tetap menutup. Airmata ini terus mengalir.
῀῀῀
                 “Halo. Danisha… Lo udah siap belum? Ayo ah berangkat sekarang! Telat nih kita!”, terdengar suara Davin dari seberang sana.
“Iya iya, tunggu ah bawel! Gue keluar rumah nih sebentar lagi. Gue udah siap kok”, balasku berbicara dengan telepon genggamku yang menghubungkanku dengannya.
Klik. Terdengar suara telepon ditutup.
“Dasar Davin! Sok cool banget sih jadi cowok! Gak ngucapin apa dulu kek gitu sebelum nutup telepon!”, gerutuku.
                Davin. Nama pria berparas tampan itu. Ia teman kecilku. Pria menyebalkan yang sok cool tetapi baik dan perhatian. Aku senang dapat berteman dengannya sampai sekarang. Aku keluar rumah dengan seragam SMA-ku. Terlihat Davin sedang memakai kembali helm yang selama menungguku ia lepas.
“Ma… Aku berangkat, ya! Daaah!”, pamitku kepada Mama Anne, mama yang paling kusayang.
“Iya, hati-hati ya sayang!”, balas mama.
 “Siap Ma…”
                Dulu, waktu aku SMP, aku dan Davin biasa pergi ke sekolah dengan bersepeda. Namun dengan seiring berjalannya waktu, seiring bertambah besarnya aku dan Davin, mulai dari kelas 9 sampai di SMA sekarang, aku tidak pernah berangkat ke sekolah bersama. Davin pergi ke sekolah menggunakan Ninja-nya dan aku diantar Papa. Hmm… hal ini sedikit membuat pertemananku sedikit merenggang dengannya.
Tapi betapa senangnya aku, untuk kali ini Mama meninta Davin mengantarku ke sekolah karena Papa sedang dinas keluar kota untuk 3 hari ke depan. Oh, setelah sekian lama tidak berangkat ke sekolah bersamanya, akhirnya aku pergi ke sekolah dengannya juga. Tapi kali ini berbeda, seperti yang kubilang tadi, jika dulu aku pergi ke sekolah bersamanya dengan sepeda, sekarang sepeda itu menjelma menjadi sebuah motor Ninja yang sangat keren. Metamorfosis telah terjadi.
῀῀῀
                Aku sampai di sekolah. Awalnya aku merasa asing seperti ini, karena sejak aku turun dari motor, entah hanya perasaanku saja atau memang kenyataannya, para siswi di SMAN 47 Jakarta melihatku dengan tatapan yang aneh.
                Ah, ternyata benar apa yang dikatakan Davin saat di jalan tadi, “Nanti kalau lo turun dari motor gue, jangan kaget ya kalau banyak cewek-cewek yang ngeliatin elo”, begitu katanya, dan aku hanya membalas dengan tawa mengejek. Aku mengira Davin bergurau tadi. Aku tidak percaya, tapi pada kenyataannya memang itu yang terjadi.
                Aku sampai di kelas. Sejak disahkan menjadi anak SMA beberapa bulan yang lalu, aku melihat suatu metamorfosis dari diri Davin. Aku melihatnya sebagai pria, bukan lagi laki-laki kecil yang cengeng seperti dahulu waktu kecil. Caraku melihat Davin pun sedikit berubah sekarang. Entah karena sekarang ia lebih tampan atau bagaimana aku pun tak mengerti. Tetapi aku baru sadar, ketampanan Davin bertambah 40%. Hmmm…
“Heh! Ngapain lo ngeliatin si Davin sampe bengong gitu?”, tegur Risca, teman sebangkuku.
“Hahaha enggak, gue lagi ngebayangin aja, waktu dia kecil sama di yang sekarang beda banget loh, Ca”, jawabku
“Beda gimana? Wah, mulai ada tanda-tanda cinta nih.”
“Eh enggak lah ya! Dia temen kecil gue! Kenapa tanda-tanda cinta?”
“Lagian lo gak kayak gini ah biasanya juga. Apa gara-gara diantein tadi ya?”, balasnya dengan nada sedikit menggoda.
“Ah, apaan sih lo, Ca? Bawel ah! Gue aja jadi males bareng dia lagi. Gila kali, Ca lo tau gak? Anak-anak cewek satu SMA pada ngeliatin gue pas gue turun dari motor Davin. Berasa teroris nih gue.”
“Hahaha mereka tuh envy sama lo yang bisa deket sama Davin. Mereka juga mau kali, Sha dianter cowok ganteng kayak Davin ke sekolah.”
“Ya ampun, tapi gak seitunya juga kali, Ca. Elo lagi nih segala ngeledek ada tanda-tanda cinta lah, apa lah.”
“Gue cuma memprediksi kok, Sha. Temen kecil itu bukan berarti menutup kemungkinan untuk pacaran, kan? Bukan menutup kemungkinan sebuah rasa sayang yang tadinya sebagai teman jadi lebih dari teman kan?”, ujar Risca. Deg. Entah mengapa kalimat terakhir Risca membuat dadaku sedikit bergetar.
                Risca adalah temanku. Teman dari sejak aku SMP. Ia baik, pengertian, sok tahu, dan sedikit menyebalkan. Hmmm… Tapi aku menyukai sosok Risca yang seperti itu.
                Ya, aku satu kelas dengan Davin. Banyak yang menilai Davin sebagai ‘cowok berbuntut’ atau biasa disebut playboy. Banyak kakak kelas perempuan yang berusaha mendekati Davin dan pintarnya Davin, dengan senang hati, ia meladeni setiap kakak kelas yang berusaha mendekatinya. Ah, aku tahu dia tampan, tapi dengan begitu seakan ia terlalu memanfaatkan ketampanannya sehingga diberi predikat playboy. Namun yang anehnya, sampai sekarang, walau aku lihat banyak kakak kelas yang mendekati Davin, belum ada satu perempuan pun yang ia anggap spesial. Spesial yang dimaksud disini adalah seorang pacar.
῀῀῀
                Bel masuk kelas berbunyi. Entah mengapa aku sangat membenci pelajaran ini. Aku berhasil dibuat melamun dan hanya bisa diam karena pelajaran ini. Ya, Kimia. ‘Oh Tuhan, mengapa harus ada kimia di muka bumi ini?’, begitu batinku berbisik. Tidak ada rasa tertarik melihat rumus-rumus yang tertulis di papan tulis. Ah, aku sama sekali tidak tertarik dengan pelajaran ini.
῀῀῀
                Pelajaran yang berhasil membuat otak berasap telah selesai. Aku pergi ke kantin bersama Risca. Sudah langgananku pergi ke kanti bersamanya, tetapi tidak berarti temanku hanyalah Risca.
                Istirahat yang berdurasi 15 menit itu sungguh cepat berakhir. Aku berjalan ke kelas. Di tengah perjalanan ku, aku bertemu Davin di koridor. Davin berjalan bersama seorang kakak kelasku dan terlihat sangat akrab, padahal baru beberapa bulan Davin bersekolah disini. Ya, aku mengerti, ketampanannya membuatnya menjadi seperti ini.
                “Oh Tuhan, entah mengapa aku sangat gerah melihatnya seperti itu dihadapanku?”, batinku. “Ah, tidak, tidak. Aku tidak cemburu. Aku tidak cemburu. Aku hanya sedikit sebal melihat tingkah kakak kelas itu yang sok dekat dengan Davin”.
                Tiba-tiba Davin menghampiriku, menyapaku, dan tiba-tiba tangan itu memegang kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Oh Tuhan, aku pasti bermimpi. Sadarkan aku. Jantung ini sangat cepat berdegup. Terakhir kali Davin mengacak-acak rambutku saat aku berumur 8 tahun. Teringat jelas di otakku kebiasaan Davin waktu kecil, yaitu tidak bisa melihat rambutku rapi sedikit. Huh…
“Sha?”
“Hah? Iya iya kenapa?, aku baru tersadar bahwa Davin memanggilku.
“Habis dari kantin ya?”, tanya Davin.
“Hah? Eh… Iya Vin hehe”, jawabku sedikit salah tingkah.
“Pulangnya bareng kan?”, tanya Davin lagi.
‘Oh Tuhan aku tak tahu apa yang sedang terjadi’, batinku berkata.
“Eh, iya Vin oke deh”, jawabku seadanya sambil memperbaiki sikapku yang sedari tadi dikuasai oleh ‘salah tingkah’. Tersirat raut sebal di wajah kakak kelas yang sedari tadi terus berada di samping Davin. Aku tertawa puas di dalam hati.
῀῀῀
                Bel keluar kelas akhirnya berbunyi. Aku merapikan buku-bukuku yang berantakan di atas mejaku. Tiba-tiba seseorang berdiri disampingku. Davin. Oh Tuhan, bermimpi lagikah aku?
“Ayo pulang!”, ajak Davin sambil membantuku membereskan buku-bukuku.
“Eh… iya Vin iya tunggu ya.”
                Entah mengapa hari ini aku banyak dikejutkan oleh kejadian-kejadian yang membuatku salah tingkah. Padahal biasanya, walau sekelas dengan Davin, aku jarang, malah tidak pernah seperti ini dengan Davin.
“Nih, pake helmnya!”, ujar Davin sambil memberikan helmnya kepadaku.
“Loh, loh kok jadi gue yang pake? Terus lo pake apa dong?”, jawabku.
“Ah, gampang gue mah. Lagi males pake helm. Lagi juga jam segini gak ada polisi kok. Santai aja.”, ucap Davin begitu tenangnya.
                Aku menurut. Aku memakaikan helm Davin di kepalaku, dan lekas pulang.
῀῀῀
“Sha, lo percaya gak cinta bisa dateng tiba-tiba?”, tanya Davin membuyarkan lamunanku.
“Hah? Eh…? Cinta? Tiba-tiba? Kok lo bisa nanya gitu?”, ujarku berbalik tanya kepada Davin.
“Iya, Sha. Tiba-tiba gue cinta sama seorang cewek. Baru tadi”, jelas Davin
Deg. Hatiku seperti tertampar. Seperti ada sesuatu menghujam jantungku.
“Oh, pasti kakak kelas itu ya?”, tanyaku perlahan.
“Hahahaha”, Davin hanya membalas dengan tawanya.
Dadaku sesak. Oh Tuhan, mengapa seperti ini? Mengapa aku seperti tidak bisa menerima kenyataan? Tidak, tidak. Aku tidak ada perasaan apa-apa dengan Davin.
Tiba-tiba…
BRAAAAKKK… Aku terjatuh. Davin terjatuh. Terlihat satu mobil di belakangku mengerem keras lalu pergi secepat kilat. Ada darah di kepala Davin. Darah yang semakin banyak, dan aku tidak sadarkan diri.
῀῀῀
                Ruangan serba putih tampak saat aku membuka mataku. Selang infus tertanam di tangan kananku. Mama dan Papaku tampak berada disampingku. Papa segera pulang saat mendengar aku kecelakaan.
“Aku dimana, Pa? Aku dimana, Ma? Aku kenapa?”, tanyaku.
“Kamu di rumah sakit sayang. Kamu baik-baik aja kok. Cuma shock aja.”, jelas Mama sambil menghapus airmata yang tampak turun di pipinya.
“Ma, Davin? Davin mana, Ma? Aku lihat tadi kepalanya berdarah. Davin baik-baik kan, Ma? Aku mau lihat dia”, paksaku.
“Danisha, kamu belum terlalu kuat untuk jalan, nanti saja ya, Nak. Davin pasti baik-baik aja kok”, kata Papa berusaha membuatku tenang.
Aku terus memaksa. Akhirnya aku diantar seorang suster untuk pergi ke kamar tempat Davin dirawat.
῀῀῀
                Airmataku meleleh melihat keadaan Davin. Selang infus terpasang di tangan kanannya. Perban terlilit di kepalanya, dan mesin detak jantung terus berkerja menunjukan keadaan detak jantung Davin. Davin koma. Kepalanya membentur trotoar. Sangat keras. Orang yang menabrak motor Davin dari belakang kabur begitu saja. Sungguh orang jahat.
                Airmataku terus turun membasahi pipiku. Membasahi tangan Davin yang sedang kupegang. Sesak masih terasa di dadaku. Seseorang memelukku dari arah belakang. Aku menoleh cepat. Mama Davin yaitu tante Dewi berusaha menenangkanku. Terlihat juga Om Irwan, papa Davin di depan pintu kamar.
῀῀῀
                Keesokan harinya aku tidak pergi ke sekolah, melainkan pergi ke rumah sakit untuk melihat keadaan Davin. Saat aku sampai di depan kamar Davin, terlihat Om Irwan sedang berbincang dengan seorang dokter. Aku sedikit menguping pembicaraan mereka.
“Kami sudah memasrahkan semuanya kepada-Nya. Kepala Davin pendarahan dan saya rasa darah yang diberikan sudah lebih dari cukup. Kami tinggal menunggu Davin sadar. Namun entah mengapa sampai sekarang Davin belum sadarkan diri. Saya takut tubuh Davin tidak bisa merespon dengan baik”, jelas sang dokter panjang lebar.
Raut lesu dan sedih menyelimuti wajah Om Irwan.
“Kita hanya bisa pasrah dan berdoa pada-Nya”, tambah sang dokter.
                Aku mengetuk pintu dua kali. Om Irwan membukakan pintu untukku dan sang dokter beranjak pergi.
“Eh, Danisha. Sudah baikan memang kamu datang kesini?”, tanya Om Irwan
“Sudah kok Om”, jawabku.
“Baiklah, Om keluar saja, ya biar kamu sama Davin”, kata Om Irwan dengan wajah pasrah.
῀῀῀
“Gue denger, Vin. Gue denger semua yang diomongin sama dokter itu. Gue takut, Vin. Lo gak bakal tinggalin gue kan, Vin?”, bisikku sambil menahan airmata yang akhirnya jatuh juga.
“Vin, dengerin gue ya, lo harus sadar, lo harus kuat, Vin. Gue gak siap kalau lo harus pergi”, tambahku.
                Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah satu minggu aku melakukan kegiatan ini. Aku tidak berangkat ke sekolah, melainkan melihat keadaan Davin. Sosok pria itu masih sama. Masih tertidur di atas ranjangnya yang serba putih.
Handphoneku bergetar. Risca meneleponku. Menanyakan keadaanku dan menanyakan keadaan Davin.
“Halo, Ca… Iya gue baik kok”, jawabku sebelum Risca melemparkan pertanyaannya padaku.
“Ya ampun, Sha… Gue kangen sama lo… Kapan lo masuk sekolah lagi? Udah seminggu nih gue gak ditemenin lo. Davin gimana?”, balas Risca dengan nada sedih.
“Iya, Ca gue juga kangen kok sama lo. Tapi kapan gue masuk sekolahnya gue gak tau, Ca… Davin masih begini-begini aja. Minta doanya ya, Ca biar Davin cepet sadar.”
“Tanpa lo minta gue juga selalu doain lo sama Davin baik-baik aja kok, Sha.”
“Makasih ya, Ca lo emang temen gue yang paling baik…”
“Iya, sama-sama, Sha. Lo juga kok… Eh Sha, ada guru nih neleponnya udah dulu deh ya. Semoga kalian baik-baik aja dan cepet masuk sekolah. Oke?”, ujar Risca.
“Oke deh, Ca makasih banyak, ya. Amin…”
Klik. Suara telepon ditutup.
῀῀῀

                Aku menangis. Terus menangis. Aku membayangkan jika itu terjadi. Jika aku tidak bisa melihat Davin yang menyebalkan lagi, jika aku tidak bisa merasakan betapa hangatnya saat ia menyentuh kepalaku, mengacak-acak rambutku. Aku terdiam. Tubuhku mematung.
“Aku sadar bahwa aku mencintainya, Tuhan. Jangan rebut ia dariku. Aku menyayanginya. Angkatlah rasa sakitnya, Tuhan. Biarkan rasa sakitnya berpindah kepadaku. Aku rela, Tuhan…”
Aku terus menatap kearah mata Davin. Davin terbaring dihadapanku. Tetes demi tetes airmata membasahi pipiku. Dalam hati, aku terus berdoa agar mata indah itu terbuka dan dapat menatap indahnya dunia.
“Cepet bangun ya, Vin. Gue bakalan nungguin lo kok. Gue bakal jadi orang pertama yang lo liat waktu lo buka mata indah lo itu. Gue sayang, Vin sama lo. Jangan tinggalin gue ya!”, batinku berbisik penuh harap.
                Tangan berinfus itu tetap diam. Harapku belum tercapai. Tangan itu tetap diam. Mata itu tetap menutup. Airmata ini terus mengalir.
῀῀῀
                Sedetik kemudian setelah aku mengeluarkan kalimat itu, tangan Davin terasa menyentuh tanganku.
“Gue denger kok, Sha”, kata Davin dengan keadaan mata masih tertutup dan setengah sadar.
“Vin… lo udah sadar? Jangan banyak bergerak dulu, Vin”, balasku.
Aku senang setengah mati. Tangis kesedihanku berubah menjadi tangis bahagia.
“Gue mau lanjutin cerita gue yang kepotong waktu itu, Sha”, ujar Davin.
“Lo gila? Lo gak mikir, Vin? Lo baru sadar! Masih sempet aja curhatin kakak kelas yang gak penting itu ke gue”, timpalku.
“Sebenernya itu tuh elo, Sha. Gue suka sama lo semenjak kita SMP, dan saat kita SMA, gue mastiin perasaan gue ini”, ungkapnya jujur membuatku bingung setengah mati akan pernyataannya.
Aku hanya bisa diam. Tercengang mendengar pengakuannya. Aku bingung. Aku salah tingkah.
“Kok diem, Sha? Gue beneran. Gue udah mastiin perasaan gue. Lo mau kalau kita jadi lebih dari temen?”, kata Davin tiba-tiba. Kata-kata itu sungguh membuatku kaget. Oh, Tuhan harus apa dan bagaimana aku sekarang?
Aku diam. Davin menatapku dalam.
“Gue sayang, Vin sama lo. Gue sayang dari dulu. Kalau lo mau tau, gue juga suka dari dulu, dan itu cuma sama lo. Gue juga lagi mastiin perasaan gue, dan perasaan gue juga udah pasti kalau gue emang sayang sama lo. Sayang lebih dari sekedar temen. Sekedar teman, Vin…”, jelasku panjang lebar.
Aku tersenyum. Davin membalas senyumku dengan tersenyuman indahnya. Aku tahu apa maksud dari senyum itu.
“Lo gak kapok kan kalau ke sekolah bareng gue lagi?”, tanyanya tiba-tiba.
“Hahaha enggak lah…”
“Iyalah, lo gak boleh kapok… Kan mulai sekarang lo sama gue berangkat dan pulang bareng… Siap gak lo pacaran sama orang ganteng tingkat tinggi kayak gue? Kan banyak kakak kelas yang suka sok kenal sama gue.”
“Gue siap kok ngebuat mereka envy tiap pagi. Hahaha.”
Aku tertawa. Senang tak terhingga.